Breaking News

Ada Apa dengan KDM: Kepala Sekolah Harus Berani Menolak Pemerasan Oknum LSM atau Wartawan

Global-hukumindonesia.id, Jabar - Menyikapi terkait beredarnya video tiktok KDM (Kang Dedi Mulyadi) terkait statementnya yang menyatakan banyaknya yang ngaku-ngaku wartawan dan LSM, dan KDM minta kepala sekolah Berani menolak Pemerasan Oknum LSM dan WARTAWAN, 

Apa maksud peryataan KDM tersebut menyinggung nyinggung Wartawan dan LSM?..., Pertanyaannya apakah KDM MENGERTI UUD PERS DAN LSM?...”, kata Hadi Kaperwil MGHI Jabar yang juga Ketum FKWSB. (29/3/2025).

Tambah Rd. Hadi, ”Ari KDM ngarti teu undang undang pers, sama undang undang LSM, Pejabat nga usah takut kalau tidak salah, dan Inspekstorat juga harus benar-benar mengauditnya, serta BPK Juga harus bener menerima hasil laporan keuangan diteliti dulu ke Absahannya”, tegasnya.

Adapun pengertian yang disampaikan oleh Pimred Global Hukum Indonesia, "Nggak masalah dia berbicara seperti itu, kita sebagai wartawan jelas UU no 40 tahun 1999 yaitu sebagai kontrol sosial, ada informasi mengenai korupsi ataupun yang lainnya kita berhak untuk minta konfirmasi,

Dan Wartawan itu melakukan tugasnya dengan mendengar, mencari, melihat, mengkonfirmasi, menulis dan mempublikasikan dan nggak boleh dihalang-halangi, siapa yang menghalangi itu melanggar UU, yang melanggar UU bisa dituntut”, beber Pimred.

Ingat UU no 40 tahun 1999, dibaca, difahami itulah senjata wartawan untuk melaksanakan tugasnya dan Wartawan boleh merekam peristiwa, tetapi tidak boleh melanggar privasi orang lain. 

Sebagai contoh Merekam peristiwa tanpa izin, baik berupa foto maupun video, tidak dilarang oleh UU ITE. Namun, merekam perbuatan kesusilaan diam-diam berpotensi dijerat pidana. Merekam secara diam-diam atau mengambil foto tanpa izin melanggar privasi. Karena setiap individu memiliki hak atas privasi. Wartawan harus menghormati privasi dan kesepakatan untuk tidak dipublikasikan "off the record". 

Wartawan tidak boleh menggunakan cara-cara pemaksaan dan klaim sepihak terhadap informasi yang ingin dikonfirmasikan kepada narasumber. 
Wartawan tidak boleh menerima suap (amplop berisi uang) dari narasumber dalam mencari informasi. 

Wartawan memiliki hak kebebasan berekspresi, yang meliputi hak untuk menyelidiki, melaporkan, dan menyampaikan informasi tanpa tekanan atau intervensi pemerintah atau pihak lain. karena Wartawan memiliki hak untuk melindungi sumber informasi narasumber.

Sambung Pimred, ”Profesi wartawan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Pers yang mendefinisikan wartawan sebagai individu yang secara rutin melaksanakan kegiatan jurnalistik", ucapnya.

Berbeda dengan masyarakat umum, wartawan beroperasi dalam lingkungan pers atau perusahaan pers, yang memberikan mereka hak dan kewajiban khusus dalam menjalankan tugasnya.

Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan diharuskan mengikuti Kode Etik Jurnalistik. Menurut Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, wartawan harus bersikap independen, memastikan berita yang disajikan akurat, berimbang, dan bebas dari niat buruk.

Namun, bagaimana dengan mengambil foto atau merekam tanpa izin?..., Secara umum, wartawan tidak boleh merekam atau mengambil gambar tanpa izin ketika hal tersebut berkaitan dengan privasi narasumber.

Misalnya, untuk informasi pribadi, kehidupan sehari-hari, atau hal-hal yang disepakati untuk tidak dipublikasikan (off the record), wartawan harus menghormati privasi dan kesepakatan tersebut.

Namun, untuk lokasi-lokasi seperti kantor pemerintahan atau fasilitas umum, tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang wartawan mengambil gambar atau merekam video selama dilakukan secara profesional dan dengan tujuan untuk memberikan informasi yang berimbang. Penting bagi wartawan untuk tetap mematuhi prinsip-prinsip profesional dalam mendokumentasikan informasi.

Jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat dokumentasi atau informasi yang dipublikasikan, mereka memiliki hak untuk menggunakan hak jawab dan hak koreksi.

Hak jawab memberikan kesempatan kepada individu atau kelompok yang merasa nama baiknya dirugikan untuk memberikan tanggapan terhadap pemberitaan tersebut. Sementara itu, hak koreksi memungkinkan individu untuk memperbaiki kekeliruan informasi yang telah disebarluaskan.

Pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi ini diatur dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik, yang menyatakan bahwa wartawan harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru disertai permintaan maaf kepada pembaca atau audiens.

Dewan Pers juga berperan dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait pemberitaan pers.

Jika perusahaan pers tidak memenuhi kewajiban untuk melayani hak jawab atau hak koreksi, mereka dapat dikenakan sanksi denda maksimal sebesar Rp500 juta.

Ini menunjukkan pentingnya tanggung jawab pers dalam menjaga akurasi dan keadilan dalam pemberitaan.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik dilakukan oleh Dewan Pers, sedangkan sanksi untuk pelanggaran tersebut dapat dikenakan oleh organisasi wartawan atau perusahaan pers itu sendiri.

Karena Wartawan atau Jurnalis adalah Pilar ke Empat Kemerdekaan Negara ini, tanpa Wartawan tak ada yang tahu Negara ini Merdeka.

Darimana mereka tahu informasi, perkembangan kemajuan suatu daerah, negara kalo bukan dari Wartawan dengan hasil karya tulisnya memberikan informasi, edukasi bagi umat manusia, kalo mengambil dari istilah hukum "Officium Nobille yang artinya Pekerjaan atau profesi yang Mulia" tinggal bagaimana kita melaksanakan profesi Mulia ini.

"Dan apakah Mereka para pejabat merasa sangat sangat terganggu dengan adanya Wartawan tapi mereka harus mengikuti aturan UU yang berlaku, Wartawan bisa membuat seseorang atau Instansi negeri ataupun swasta terkenal dan mencapai prestasi kariernya, tapi Wartawan juga bisa membuatnya terpuruk kariernya", pungkas Pimred MGHI Nopian Ansori, S.T., S.H., CPT. (redaksimghijabar@gmail.com)
Hosting Unlimited Indonesia
Hosting Unlimited Indonesia
Hosting Unlimited Indonesia
© Copyright 2022 - GLOBAL HUKUM INDONESIA